KEEROM, Nokenlive – Karimin, pria berusia 106 tahun ini memilih habiskan masa hidupnya di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Zaman modern tak menyurutkan semangatnya seperti masa muda lampau. Pesan beliau hanya satu, jangan pernah lupakan masa lalu.
Karimin kelahiran 1913 silam, banyak memiliki perjalanan hidup. Ikut berjuang bersama rakyat Indonesia lainnya sejak berusia belasan tahun. Melanglang buana se-antero Tanah Jawa sejak usia 20-an tahun dan juga bertahun-tahun gerilya di hutan Tanah Jawa pada masa penjajahan Jepang dan Belanda.
Kini, pria payuh baya memiliki delapan cucu dan tiga cicit menghabiskan masa hidupnya di Arsopura, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom. Sejak menempati rumah transmigrasi tahun 1985 bersama almarhum istrinya yang telah meninggal sekitar dua tiga tahun silam, ia menyibukkan diri mengurus ternak sapi miliknya.
Dua kali sehari dirinya berjalan kaki menempuh jarak sekitar satu hingga dua kilometer untuk mencari rumput buat sapi peliharaannya. Tak terkikis dengan zaman modern saat ini, mudahnya transportasi dan komunikasi. Pria ini tetap melakukan aktifitas seperti dulu kala.
Hidup sendiri tak menyurutkan dirinya untuk tetap semangat pada setiap nafas masih diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Satu pesan darinya, hargai dan cintailah hidup ini seperti mencintai Sang Pencipta yang telah memberikan kesempatan untuk hidup di dunia.
“Sejak Presiden Soekarno sampai Presiden Joko Widodo ini, bagi saya yang berubah hanyalah usia. Karena hidup itu keras, apabila dijalani dengan sabar pasti tak terasa keras,” kata pria yang masih kuat bekerja sendiri.
Dirinya juga mengaku sudah sejak berapa tahun terakhir telah mempersiapkan semua saat meninggalkan dunia ini. Seperti mempersiapkan patok kuburan, kain kafan, meja untuk memandikan jasadnya nanti serta perlengkapan lainnya.
Memiliki keluarga bukan berarti harus memanjakan diri kepada mereka di hari tua, ia mengaku tetap berusaha mandiri di hari tua dan enggan merepotkan anak, cucu dan cicitnya. Rumah miliknya pun, dibersihkannya tiap hari. Kebahagiannya ini menjadi cermin bagi cucu-cucunya.
“Saya tak mau tinggal di rumah anak saya. Saya lebih suka tinggal sendiri, setelah istri saya meninggal beberapatahun lalu. Karena sejak kecil saya diajarkan orang tua untuk mandiri, apalagi saat itu suasana perang disana sini,” katanya.
Sembari menggoreng ikan, ia juga mengaku hanya seekor kucing yang menemani dirinya disaat makan maupun bersantai didalam rumah. Suara ternak miliknya seperti ayam dan sapi, menjadi pengingat dirinya saat berada di Tanah Jawa.
“Di sini (rumah) saya hanya punya kucing, sapi dan ayam. Memang saya sudah tak kerja bangunan lagi. Kalau dulu setelah perang dan Indonesia merdeka tahun 1945, saat di Jawa saya bekerja sebagai buruh bangunan untuk hidupi keluarga,” kata pria yang disiplin waktu ini.
Ia pun mengaku tak akan meninggalkan Tanah Papua hingga akhir hayatnya, karena telah mencintai Bumi Cenderawasih ini dan juga anak, cucu bahkan cicit semuanya ada di Kabupaten Keerom.
“Saya mau kemana lagi, anak-anak disini (Arsopura) kok, kalau anak-anak saya pulang ke Jawa, yah saya mau pulang juga. Disana (Jawa) saya ada tanah juga,” ujarnya.
Ely, salah satu cucunya mengaku mbah Karimin selalu menceritakan pengalaman hidupnya kepada keluarga dan terus-menerus mengingatkan dirinya untuk tetap menghargai hidup ini. “Mbah saya ini masih kuat bekerja, dan tak mau merepotkan kami mas. Mbah juga tak mau tinggal bersama kami, karena suka hidup sendiri di rumah tran yang mbah punya,” kata Ely.
Pesan dari Mbah Karimin kepada anak-anak penerus Bangsa Indonesia adalah selalu bersyukur dan manfaatkanlah kehidupan di zaman serba ada saat ini. Dikatakannya, zaman penjajahan Belanda dulu sangat susah. Sekolah tingkat pertama (SMP) dan Sekolah menengah atas (SMA) tak ada dan pribumi tak diperbolehkan belajar.
(IND)
Apa komentar anda ?