Jayapura, Nokenlive
Persoalan masyarakat adat suku Bate yang tengah berjuang mengambil kembali hak ulayat atas tanahnya tak pernah berhenti. Atenasius Bate, Kepala Kampung Bibiosi, Distrik Arso saat melakukan pertemuan bersama wartawan memaparkan bahwa perihal urusan tanah ulayat milik mereka dimulai semenjak Juni 2010.
“Awalnya pada 2010, kaki bersepakat dengan almarhum Bapak RB untuk menyerahkan tanah 5 hektar dengan imbalan seluruh masyarakat dusun Bate dipasangkan listrik, kami diminta menandatangani lembar yang berisi daftar masyarajat yang ingin dipasangkan listrik, belakangan kami tahu kalau itu ternyata direkayasa seolah-olah penyerahan tanah 100 hektar”, terangnya.
Tak berhenti disitu, belum sampai setahun fasilitas listrik yang diberikan oleh pihak Alm. RB dinikmati warga setempat, pada Februari 2011 pihak PLN mengetahui ada pemasangan jaringan listrik yang ditarik dari Arso 10 ke Dusun Bate. “Pihak PLN sempat menegur kami masyarakat Bate, tapi kami sampaikan bahwa yang memasang itu Bapak RB, sehingga beliau dipanggil dan ditegur langsung oleh PLN”, paparnya.
Akhirnya pada Maret 2011 masyarakat dan PLN bersepakat untuk menyambung listrik dengan membayar biaya pemasangan senilai 50 juta.
“Semua jaringan listrik bapak RB dibongkar, masyarakat lalu bayar 50 juta listrik masuk, jadi harusnya kan kesepakatan dengan almarhum Bapak RB Batal, sampai beliau meninggal di 2016 tidak ada protes ke PLN ataupun masyarakat”, ucapnya .
Pada 2017 terjadi pemalangan tanah milik suku Bate oleh oknum anggota Polres Keerom yang merupakan suami dari anak almarhum RB, yakni Ibu LS. Tak hanya itu masyarakat juga kaget karena yang diklaim sebesar 100 hektar. “Kami tidak pernah jual tanah 100 hektar, kesepakatan itu hanya 5 hektar, dan ternyata ditipu dengan listrik curian, PLN sendiri yang menegur bapak RB, lalu kenapa kesepakatan itu masih dianggap ada, bahkan sampai mencaplok 100 hektar”, ungkapnya.
Ironisnya, Keluarga Alm. RB menagihkan pemasangan jaringan listrik yang oleh PLN dinyatakan ilegal tersebut senilai 715 juta rupiah kepada masyarakat Bibiosi. “Iya mereka bikin RAB, saya juga bingung, mereka ambil tanah 100 hektar atas dasar fee pemasangan listrik senilai 715 juta, padahal itu dinyatakan ilegal oleh PLN”, pungkas Atenius.
Masyarakat juga sudah melakukan pengecekan ke pihak Pertanahan setempat dan menemukan kejanggalan karena 14 sertifikat yang sudah dipecah tersebut dikeluarkan pada tahun 2006, sementara kesepakatan yang dilakukan antara Atenius Bate dan Alm. RB terjadi pada tahun 2010
Ditempat yang sama Ketua Dewan Adat Distrik Skanto Didimus Werari ikut menyuarakan hal ini, menurutnya soal ulayat suku Bate ini membentang hingga ke Distrik Skanto, sehingga tidak mungkin terjadi pengambil alihan tanpa berbicara dengan Ondoafi dan Kepala Suku. “Ini luar biasa masyarakat saya kena tipu dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka harusnya tahu bahwa diwilayah ada pemimpin adat, ada ondoafi juga kepala suku, harus duduk di para-para adat untuk bicara soal tanah karena itu aset adat”, tegasnya.
Didimus juga menambahkan bahwa rekayasa tanda-tangan yang dipakai seolah-olah ada pengambil alihan itu tidak bisa didiamkan. Dirinya juga menegaskan bahwa seluruh tanah yang diserobot tanpa sepengetahuan adat, dengan cara yang tidak benar dikategorikan sebagai persoalan Mafia Tanah. (S Karim)
Apa komentar anda ?