Biak, Nokenlive.com – Proyek pembangunan jembatan perahu di kawasan hutan mangrove Ruar diduga kuat tidak mengantongi izin Amdal.
Tidak hanya itu, Imanuel Rumayom SH kuasa hukum Charles Erikson Dominggus Fairyo tetapi juga sebagai pemilik hak ulayat lokasi yang akan di bangun jembatan perahu tersebut mengatakan bahwa pihaknya menduga adanya pemalsuan dokumen.
“Ya, dugaan kami kuat sekali. Karena apa? untuk mendapatkan izin Amdal seharusnya melibatkan masyarakat sekitar lokasi tersebut, juga pemilik hak ulayat. Namun hingga saat ini tidak ada yang pernah menghubungi pihaknya. lalu semua yang terlibat bertandatangan melepas dan menyetujui pembangunan jembatan tersebut akan kami proses”. Sabtu, (30/09/2023).
Imanuel Rumayom SH menegaskan Setiap proses pembangunan yang dilakukan hendaknya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan tidak mengabaikan kondisi ekologis, budaya dan sosial masyarakat serta tata aturan perundangan yang ada.
“Yang pertama harus memiliki Amdal, UKL/UPL atau SPPL. Amdal adalah analisis dampak lingkungan, sedangkan UKL/UPL atau SPPL adalah rencana usaha atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal. Jadi rencana usaha, kegiatan operasi usaha atau yang berbatasan langsung dengan kawasan lindung. Artinya apa yang akan di bangun seharusnya mempunyai analisa terhadap batas dan lingkungan”.
Pemerintah, kontraktor atau perusahaan diduga mengabaikan semua hal tersebut. Tanpa mengantongi izin Amdal, tanpa persetujuan pemilik hak ulayat, membuka kawasan hutan mangrove untuk pembangunan proyek jembatan perahu.
“Saran saya, Pemerintah harus membaca UU nomor 32 tahun 2009 dan turunannya. Sehingga pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang berkelanjutan. Artinya kita melakukan pembangunan yang tidak merusak melainkan pembangunan yang mempunyai dampak yang baik untuk masa depan. Kalau bangun jembatan potensi merusak itu jauh lebih besar. salah satu contoh nyata adalah di depan taman burung itu, jika lihat di bagian bawah, sudah seperti lapangan. Hal itu karena sebelum lakukan suatu pembangunan tidak ada analisis dampak lingkungan atau ijin Amdal”. ucapnya.
Lebih lanjut dikatakan sesuai dengan pernyataan presiden RI saat G20 dibali, yang mana Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan mangrove terbesar di Indonesia yaitu 3,3 juta hektar Indonesia akan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Indonesia mengajak negara-negara G20 untuk berkolaborasi, bekerja sama dalam sebuah aksi nyata untuk pembangunan ekonomi hijau yang inklusif. Tetapi fakta yang terjadi di kabupaten Biak Numfor tidak demikian. Dikatakan bahwa Hanya untuk kepentingan STC yang hanya 1 minggu, hutan mangrove yang ada akan di bangun jembatan perahu yang berpotensi merusak hutan mangrove tersebut. ucapnya.
“Pernyataan Presiden RI, Jokowidodo sangat jelas hutan mangrove harus dilindungi, yang rusak ditanam kembali, untuk pembangunan ekonomi hijau yang inklusif. Ini kan bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Biak Numfor”.
Sementara itu, Charles Erikson Dominggus Fairyo mengaku kecewa terhadap pihak-pihak yang diundang ke polres biak guna memberikan penjelasan.
“Hari Senin kemarin, kami undang Kepala Dinas Pariwisata Biak, kontraktor tetapi tidak ada yang datang di Polres Biak Numfor. Artinya mereka mengabaikan undangan kami sebagai pemilik hak ulayat”. Ujarnya
Charles dengan tegas mengatakan tidak akan menjual bahkan mewakili keluarga besar tetap pada pendiriannya untuk menolak pembangunan proyek jembatan perahu di kawasan hutan mangrove miliknya.
“Kami marga fairyo, dan Rumayom pemilik hak ulayat mulai dari ibdi hingga depan taman burung menolak adanya proyek pembangunan jembatan perahu di kawasan hutan mangrove milik kami.
Kami dengan tegas minta pemerintah, pengusaha atau kontraktor serta siapapun yang terlibat agar hentikan proyek tersebut. Kami menentang keras pembangunan proyek jembatan dan akan tempuh jalur hukum,” Pungkasnya
(Lisa)
Apa komentar anda ?