Jayapura, Nokenlive
Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Elias Petege berharap sistem noken dapat kembali ditinjau ulang, menurutnya rakyat yang berada di 2 wilayah pelaksanaan yakni Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan sudah cukup cerdas untuk menentukan hak politiknya.
Hal ini disampaikan pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait penggunaan sistem noken pada pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024.
“Saya pikir hal ini perlu ditinjau ulang, karena masyarakat yang berada di Papua Tengah maupun Papua Pegunungan sudah cukup cerdas dalam menentukan hak politiknya”, tegas Ellias dihadapan KPU RI dan seluruh peserta yang adalah Komisoner KPU Provinsi dan Komisioner Kabupaten di Papua Tengah dan Papua Pegunungan.
Lanjutnya Ketua KPU Kabupaten Dogiyai mengatakan bahwa Penerapan dualisme Demokrasi di Papua yakni Liberal (satu orang satu suara) dan Demokrasi Pancasila (Musyawarah Mufakat ) membawa dampak buruk dalam pelaksanaan pemilu kedepan.
Dirinya menyarankan agar pemerintah konsisten dalam mengimplementasikan sistem Demokrasi. “Secara umum Kita masih menggunakan model pemilihan satu orang satu suara sementara sistem Noken ini mengacu pada asas Pancasila, hal ini praktis merupakan dualisme dalam perjalanan Demokrasi”, paparnya.
Elias menilai hal tersebut tidak wajar, dan tidak sejalan dengan nilai-nilai keadilan, bahwa diluar 2 provinsi tersebut mengadaptasi sistem yang berbeda.
Dirinya turut menyoroti kelemahan administrasi pemilu terutama dalam pemungutan suara dengan sistem noken yang dimuat dalam keputusan KPU No 6 tahun 2024 tentang pedoman teknis pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu bab IV, poin c terkait pelaksanaan pengumpulan suara sistem noken berlangsung sebelum hari pencoblosan. “Ini jelas berpotensi untuk bisa direkayasa, apalagi peran kepala suku sangat dominan sehingga membuka peluang terjadi manipulasi suara”, ucapnya.
Ketua KPU Kabupaten Dogiyai juga mengusulkan untuk memperketat administrasi pemilu dan pemilihan terutama saat pelaksanaan pengumpulan suara sistem noken baik berita acara, daftar hadir juga dokumentasi hasil musyawarah, termasuk jumlah yang mengdelegasikan hak pilihnya beserta identitas pribadi.
Menurutnya seiring perkembangan zaman dan keberadaan organisasi masyarakat yang berkembang pesat, peran Kepala Suku bukan lagi mutlak sebagai penentu di suatu daerah. “Sekarang juga ada tokoh masyarakat, pemuda, agama, dan perempuan sehingga, mesti peran mereka diakui dalam pelaksanaan sistem noken”, pungkasnya.
Di akhir penyampaian pendapat Elias menyarankan kepada KPU RI sebagai pembuat peraturan KPU , untuk membatasi ruang lingkup penggunaan sistem noken. Menurutnya untuk Kabupaten dapat dibatasi pada satu dua Distrik atau kampung yang masyarakatnya benar-benar tak bisa membaca bisa juga mengacu pada jarak antar Kampung yang berjauhan.
Hal ini sesuai semangat keputusan MK no 31/ppu-Xii/2014 yang pada pokoknya hakim mengakui sistem noken sebagai tradisi kesatuan masyarakat hukum adat dan diberlakukan terbatas pada tempat terbatas dan tertentu dan kasuistis dengan demikian norma ini tidak dimasukkan dalam UU Pemilu dan Pemilukada.
Elias turut menegaskan pendapatnya agar
Pada pemilu 2029 sistem Noken dapat dihapuskan. Hal ini demi mengedukasi seluruh masyarakat terkait pendidikan politik serta mendorong kemajuan berdemokrasi bagi rakyat Papua termasuk menghindari konflik horizontal pada pelaksanaan Pemilu. (Fibra)
Apa komentar anda ?