Oleh : Fibra Satyagraha (Redaktur nokenlive.com)
Mitologis Yunani merupakan bagian dari agama kuno yang banyak mempercayai dewa-dewi. Terdapat 3 dewa terkuat yakni Zeus, Poseidon dan Hades. Kepercayaan ini telah ada semenjak masa awal dunia. Dalam banyak literatur, Zeus memang menjadi pemimpin bagi para dewa-dewi, tetapi legitimasi itu didapat dari penaklukannya atas kekuasaan Kronos. Masing-masing memiliki potensi wilayah dan kekuatan yang setara. Zeus menguasai langit, Poseidon yang berkuasa atas lautan, serta Hades dewa yang penuh kekayaan karena tempat tinggalnya ada di kedalaman bumi yang menyimpan banyak logam berharga. Kekuatan ketiganya boleh dikata seimbang dan sama-sama mampu menghancurkan bumi. Tidak bisa terbayangkan saat ketiganya masuk dalam ranah pertarungan perebutan kekuasaan, susah untuk memprediksi siapa yang nantinya akan lebih dominan untuk meraih kemenangan.
Kita tinggalkan sejenak mitologi Yunani Kuno, yang tak lain merupakan pendekatan dalam mengukur kekuatan ‘pertarungan’ ketiga bakal calon Gubernur terkuat yang digadang-gadang akan memasuki arena Pilkada Papua pada November mendatang. Tiga nama mulai mengkerucut pada sosok mantan Walikota Jayapura, Benhur Tomi Mano (BTM) , Mantan Penjabat Gubernur Papua Barat Paulus D Waterpauw, dan Mathius D Fakhiri yang hingga kini masih menjabat sebagai Kapolda Papua.
Ketiganya merupakan putera terbaik dari Tanah Papua dengan riwayat kepemimpinan yang matang dan mapan. BTM merupakan putera asli Tanah Tabi yang sebagian besar perjalanan karirnya sebagai birokrat dimulai dari bawah hingga mencapai puncak rantai kekuasaan sebagai Wali kota Jayapura dan menjadi satu-satunya penyintas Pilkada diantara 2 calon lainnya serta mampu mempertahankan tampuk kepemimpinan selama 2 periode.
Sementara Paulus D Waterpauw dan Mathius D Fakhiri adalah 2 sosok jenderal asli Tanah Papua dengan karier kepolisian yang cemerlang. Bahkan PW, (sapaan akrab Paulus Waterpauw) adalah mantan Kapolda di 2 Provinsi yang juga pernah dipercaya sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat. Pasca mengabdi sebagai abdi negara, mantan Kapolsek Menteng ini beralih ke Politik dengan menjadi Ketua DPD Partai Golkar Papua Barat.
Nama Mathius D Fakhiri sendiri mulai mencuat semenjak akhir tahun lalu. Lulusan Akpol tahun 1990 ini memulai pengabdiannya sebagai Polisi diluar Papua tepatnya di Kalimantan hingga berada di puncak karirnya yakni sebagai Wakapolda Papua Barat dan saat ini masih menjabat sebagai Kapolda Papua.
Dalam ranah demokrasi, Pilkada adalah peristiwa politik yang memiliki perjalanan cukup dramatis selain Pilpres. Pilkada di Papua tentunya juga memiliki dinamika tersendiri terlebih kali ini adalah pertama kalinya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan dilaksanakan pasca penetapan DOB. Untuk Provinsi Papua sendiri, pemekaran paket ekonomis ini menghantam sendi-sendi keuangan pemerintah daerah yang kedepan apabila tidak dicarikan solusinya, maka akan menjadi bola liar yang membawa dampak serius di era pemerintahan berikutnya.
Untuk itu Papua membutuhkan pemimpin yang memiliki nilai tambah sebagai kreator yang mampu mendesain ulang DNA pemerintahan menuju entitas baru di tengah pusaran kompleksitas masalah pasca DOB.
Kembali ke topik Pilkada. Langkah ketiga figur diatas masih harus meraih restu Partai Politik untuk dapat ber-kontestasi pada pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua periode 2025-2029.
Tiga Partai yang memiliki suara terbanyak di DPRP Papua adalah Golkar (10 Kursi), PDIP (7 Kursi), dan Nasdem (7 Kursi). Sisanya ada PAN, Gerindra, PKB, PKS, Perindo dan Demokrat yang punya 3 kursi. Serta PSI (2 Kursi) dan PPP (1 Kursi). Peta Kekuatan Partai ini turut memberikan kontribusi bagi gambaran sebaran suara pada Pilkada mendatang. Pemilihan Kepala daerah menjadi ranah pertarungan yang akan menyedot seluruh pemikiran masing-masing tim sukses dalam menggolkan calonnya.
Politik memiliki ilmu matematika tersendiri, untuk Papua terapannya pernah membawa sejarah bagi Partai Demokrat untuk berkuasa selama 10 tahun. Figur almarhum Lukas Enembe sebagai pimpinan partai, menjadikan warna pemilihnya didominasi oleh suku terbesar dengan kekuatan suara noken yang terkenal solid. Kisah tangguh suara noken ini mampu merubah perolehan angka dengan tak tanggung-tanggung, bahkan sejarah perpolitikan di bumi cenderawasih pernah mencatat 16 kursi DPR Papua untuk partai ini di tahun 2014. Mesin politik Demokrat Papua saat itu boleh dikata memiliki kekuatan yang tak mampu dibendung oleh partai-partai lawas.
Pada 2024 ini Provinsi Papua tidak lagi mengadaptasi sistem Noken, oleh karena secara administratif wilayah yang menjadi penerapannya berubah status sebagai bagian dari Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah.
Pertarungan tanpa sistem Noken, bagi para tim sukses akan menjadi tantangan tersendiri guna bisa melakukan pendekatan matematika politik secara terstruktur. Suara Noken adalah legacy kearifan lokal masyarakat adat di wilayah pegunungan, yang seluruh sendi kehidupannya dipengaruhi oleh karakter seorang kepala suku dalam masing-masing klan. Tanpa sistem Noken Papua menjadi wilayah terbuka dengan warna pemilih yang heterogen.
Kalau dicermati hanya mantan Walikota Jayapura yang memiliki pengalaman pada dua pilkada di Kota Jayapura, tetapi tidak cukup untuk menjadi parameter angka konstan secara utuh karena hanya memuat wilayah tertentu. Sementara pertarungan ini melibatkan 8 kabupaten dan 1 ibukota Provinsi Papua. Dua calon lainnya juga tidak punya pengalaman maju berkontestasi, namun figurnya cukup dikenal luas dan memiliki potensi untuk meraih suara dari kantong-kantong pemilih yang signifikan misalnya latar belakang agama, suku, dan keluarga besar institusi yang pernah menjadi tempat bernaung.
Maka layaknya mitologi Yunani kuno, arenanya menjadi pertarungan dengan skala kekuatan yang setara dan seimbang. Tentunya banyak faktor yang bisa melemahkan dan menguatkan sosok mereka di masyarakat. Selain itu posisi Wakil juga ikut menentukan langkah pemenangan.
Sebagaimana opini ini ditulis hanyalah bagian kecil dari pendapat penulis jelang pemilihan kepala daerah di Provinsi Papua. Karena pertarungan di arena ini memiliki sejumlah unsur yang berkorelasi dengan kemenangan. Diantaranya kecermatan tim sukses, kekuatan mesin politik termasuk logistik.
Perjalanan ketiganya menuju kursi kekuasaan masih belum bisa disimpulkan secara utuh. Namun secara eksplisit figur BTM dan PW boleh dikata lebih strategis karena merupakan representasi dari 2 partai besar dimana BTM yang baru saja lolos sebagai anggota legislatif dari PDIP dan Paulus Waterpauw yang merupakan pucuk pimpinan Partai Golkar di Provinsi Papua Barat. Tidak hanya itu, sebagai pemegang palu sidang di DPR Provinsi Papua, keberadaan Golkar menjadi sangat strategis untuk langkah jitu memasuki arena pertarungan.
DPT terbesar untuk Provinsi Papua ada di Kota Jayapura dengan jumlah 258.082 jiwa, diikuti dengan Kabupaten Jayapura di angka 134.568 dan Kabupaten Biak Numfor sebanyak 101.536. Sementara untuk Yapen yakni 81.879, Keerom 50.017, Sarmi 30.329, Mamberamo Raya dan Waropen ada di angka 27 ribu, serta Supiori berkisar di 17 ribu.
Lembaga Survey Indikator mengklasifikasi karakteristik pemilih menjadi tiga bagian pada Pilkada DKI 2019, yakni sosiologis, psikologis dan rasional. Contoh pemilih sosiologis adalah mereka yang memilih berdasarkan suku, ras, dan agama. Sementara psikologis adalah pemilih yang cenderung menyukai ketegasan atau karakter tertentu dari salah satu kontestan. Ruang lingkup pemilih rasional akan cenderung menilai dari rekam jejak disertai pertimbangan logis. Lalu bagaimana karakter pemilih kita? Jawaban itu akan kita lanjutkan pada tulisan berikutnya setelah ada kejelasan perahu dan wakil para calon gubernur.
Maka arena pertarungan pada Pilkada Papua besok akan sangat menarik untuk di cermati seluruh prosesnya, sebagaimana Zeus, Poseidon dan Hades di dalam mitologi Yunani kuno dengan masing-masing kekuatannya. Kita akan segera menyaksikan aksi para dewa mengadu kelebihannya di ranah politik guna meraih suara terbanyak.***
Apa komentar anda ?