Nduga, Nokenlive.com – “Satu pintaku Tuhan, Tolong peluk kuat kedua orang tua ku dan jaga mereka selalu di masa tuanya” kata Vanny Janggo dalam kendaraan roda empat (mobil) yang nyaris jatuh ke jurang terjal dalam perjalanan dari Kabupaten Jayawijaya ke Kabupaten Nduga.
Dua tahun lalu Senin (13/3/2017) tepatnya pukul 09:00 pagi. Vanny salah satu jurnalis perempuan mewakili Papua Channel TV mendapat tugas liputan ke Distrik Mbua, Kabupaten Nduga melalui jalan darat dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Cuaca cerah dengan hembusan angin dingin menembus pakaian berpenampilan khalayak jurnalis televisi pada umumnya.
Satu persatu, mobil rombongan dari Ketua Komisi IV DPR RI Sulaeman L. Hamzah bersama tim Bulog Provinsi Papua dan Bulog Kabupaten Jayawijaya siap menuju Kabupaten Nduga membawa bantuan 15 ton beras. Tiga belas mobil rata-rata bak terbuka, satu persatu hidupkan mesin dan mulai jalan dengan kecepatan rata-rata 40-60 kilometer perjam menuju lokasi yang 6 (enam) bulan sebelumnya terjadi kasus Busung Lapar.
Untaian kata dalam doa keluar dari mulut Vanny seiring roda mobil berputar, tanda perjalanan pun telah dimulai. Satu hingga tiga jam perjalanan, hatinya berdebar dibarengi rasa takut akan mati lantaran jalanan terjal menjadi pemandangan setiap menit dilalui. Ketika hendak melalui gunung di Pundak Gajah, tiba-tiba mobil yang mereka tumpangi tak mampu menanjak dan terselip.
“Hari ini jika Tuhan menghendaki saya meninggal dalam tugas saya hanya bisa pasrah,tapi satu pinta ku Tuhan tolong peluk erat kedua orang tua ku dan jaga mereka selalu dimasa tuanya” kata Vanny sambil menyatukan jari kedua tangannya.

Lucky Sibi rekan jurnalis televisi mewakili TVRI Lensa Papua sontak memberikan semangat kepada dirinya dan berupaya membuat Vanny tersenyum dalam mobil yang telah diselimuti kabut tebal dengan jarak pandang 10-15 meter.
Tak hanya perjalanan yang memakan waktu, namun energi pun terkuras habis ketika perjalanan ekstrim mulai dirasakan setelah melewati Danau Habema, Jayawijaya. “Nikmat apa lagi yang dapat ku dustakan dari MU ya Tuhan Sang Pencipta alam semesta, alam yang indah dengan gunung-gunung batu menjulang tinggi bak piramida,” desah hatinya saat itu.
Hembusan angin dingin suhu minus 13 derajat selsius pegunungan, mengalahkan dinginnya AC mobil. Kabut tebal menutupi tepian gunung berbatu dihiasi air terjun, serasa berada di Negara Eropa. Ketinggian rata-rata 40 ribu kaki diatas permukaan laut inilah membuat oksigen pun berkurang dan menguras daya tahan tubuh Vanny yang kali pertama jalan darat di wilayah Pegunungan Tengah.
“Sungguh mata ini benar-benar dimanjakan dengan pemandangan keindahan alam papua yang tak ada tandingannya. Saat mobil kami tak bisa menanjak, kami turun. Tubuh ku mulai gemetaran dan perlahan mulai membeku sesaat setelah keluar dari mobil,” kata Boy sapaan akrab di lingkungan keluarga besarnya.
Lima jam pun berlalu, sekitar pukul 13:00 waktu Papua. Rombongan yang dikawal ketat aparat keamanan ini tiba dengan selamat di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga dan disambut hangat masyarakat atas penantiannya menunggu bantuan dari pemerintah untuk menjawab harapan mereka pasca busung lapar yang melanda wilayah itu. Cuaca gerimis dan berkabut tebal berjarak pandang 3 meter tak menyurutkan semangat Vanny melakukan tugas jurnalistiknya.
“Lima jam ini benar-benar menguji nyaliku sampai tingkat tertinggi yang tak pernah ku rasakan sebelumya. Extrimnya jalan trans Papua bukan sekedar kata tapi nyata ku rasakan. Saat kami sampai, sa (saya) kaget masyarakat jalan bertelanjang dada gunakan pakaian seadanya. Mereka sambut kami dengan tangisan dan doa syukur sambil berbicara dalam bahasa daerah,” kata perempuan lulusan STIKOM Muhammadiyah Jayapura tahun 2007.

Daerah rawan konflik ini menjadi saksi bisu bagi Vanny sendiri, sebagai jurnalis perempuan merasa bahagia menginjakkan kakinya di kampung tersebut, dibalut kekhawatiran yang di alami. Akankah perjalanan pulang nanti ke Wamena Kabupaten Jayawijaya, sampai dengan selamat? Hatinya terus bertanya-tanya.
“Siang itu kami tiba, su (sudah) trada (tak ada) matahari, hanya ada kabut tebal. Jadi kami satu jam saja dan langsung balik ke Jayawijaya,” ujarnya sambil menirukan bahasa tubuhnya saat itu.
Sekiranya pukul 14:30 waktu Papua Vanny bersama rombongan mulai perjalanan balik ke Wamena Kabupaten Jayawijaya. Perjalanan pulang ini memakan waktu lebih lama hingga delapan jam, karena tepat di gunung Pundak Gajah. Mobil yang ditumpangi sempat terundur hingga beberapa meter dan hanya tersisa beberapa sentimeter, mobil lepas landas ke jurang yang dalam.
“Banyak kendala diperjalanan pulang karena sudah gelap dan jalan menanjak Pundak Gajah itu tanjakan paling lama sudah yang kami lalui. mobil tra (tidak) mampu naik tanjakan sampe mobil ta undur (mundur) dikit lagi masuk jurang. Oh Tuhan,” tutup Vanny sambil mengelus dada disertai senyum simpul manisnya.
Ini hanya sepenggal kisah tugas jurnalistik di Tanah Papua yang penuh dengan jalan ekstrim dan membuat jantung berdebar-debar, bahkan terus menerus berdoa dalam setiap jengkal yang dilalui. Semoga, Vanny satu dari hitungan jari Jurnalis Perempuan di Papua dapat memberikan anda bayangan, betapa kerasnya tugas liputan jurnalis di setiap pedalaman Bumi Cenderawasih.
(VJ)
Apa komentar anda ?